Pendidik yang tidak mendidik
Duduk di sofa bersampingan dengan guru BK, aku mengadu kekejian temannya yang sudah berpangkat wakil kepala sekolah. Ia kelihatan bingung -tercunguk diam berpikir kalimat apa yang harus dilontarkan untuk melindungi temannya itu.
Ibuku yang tak bisa berkata apa-apa melihat aksiku
melemparkan argumen keras atas kelakuan cabul seorang guru yang tak ingin aku
hormati lagi.
“Si Berengsek itu sudah memukul pantat pacarku pak” Ucapku sambil mekontrol
emosi yang sedari tadi ingin menghajar seorang guru yang dalam hukum lebih baik
disebut oknum.
“Bagaimana kondisinya waktu itu” tanya guru BK yang mulai
menggagap.
“Pacar saya sedang menulis sebuah soal di papan tulis, lalu
guru itu datang entah darimana, matanya melirik kami yang berjumlah tiga puluh
enam siswa (36). Lalu tanpa aba-aba ia memukul pantat pacarku di depan mataku
sendiri. Aku meneriaki dia, tapi apa daya, aku hanya bermental pecundang kala
itu”
“Pak (sebut saja MI) orangnya suka bercanda, kadang
bercandanya tidak bisa diterima oleh beberapa perspektif”
Aku melihat keringat guru BK yang mulai menetes berusaha
untuk tenang dalam kondisi pembicaraan yang tegang.
Aku tertawa sekeras mungkin mengsarkaskan argumen yang jelek
untuk ditulis dalam sebuah cerpen.
“Kalau begitu boleh dong saya bercanda hal serupa”
Teman perempuan sekelasku yang menjadi pemandu jalan agar
guru BK itu tahu rumahku seketika melemparkan argumen seperti orang yang
menolak kenaikan harga subsidi BBM.
“Saya juga tidak terima pak, saya juga pernah mengalami hal
yang sama, tetapi saya takut untuk mengatakannya dan memilih diam daripada
mengancam masa depan pendidikan saya” ucap temanku dengan suara lantang
menembus kedua kuping kami.
“mengapa pacarmu itu tidak melaporkan kepada guru?” tanya
guru BK yang mulai tenang memilih kalimat yang tepat.
“dia takut pak, seperti teman saya yang tepat dihadapan
bapak yang baru saja melontarkan pernyataan yang sudah terpendam”
Suasana ruang tamu menjadi hening seketika, detik jam
berbunyi seirama dengan detak jantungku yang berusaha memompa dengan tenang
kala emosi meluap ingin membanting kepala.
“saya punya pilihan yang ingin disampaikan, terlepas dari
faktor lain yang memperkuat keinginan saya untuk berhenti bersekolah” Ucapku
dengan tenang dan memilih kata yang sopan untuk dilontarkan kepada guru yang
duduk disampingku itu.
“Saya yang keluar dari sekolah, atau guru itu yang
dikeluarkan” dengan berani aku melontarkan argumen yang mengetarkan atmosfer
ruang tamu rumahku.
Dengan berani aku berkata demikian sebab aku sudah beberapa
kali membawa nama sekolah untuk perlombaan meskipun tak menang. Kontribusi yang
kubuat setidaknya menjadi modal untuk mengambil pilihan yang mengerikan.
Dengan tatapan yang layu guru BK itu mulai berdiri dan
mengatakan kalimat terakhirnya sebelum menginjak keluar pintu masuk rumahku.
“saya akan berbicara dengan pak (sebut saja MI) supaya tidak melakukan hal itu
lagi”
Dengan kalah aku termangu muram memikirkan pilihanku yang
samar. Sebab aku akan tetap berhenti bersekolah.
Lalu pamitlah guru BK kepada seisi rumah yang menyaksikan
sebuah pertunjukan menegangkan antara murid pemberontak dan guru BK. Beranak
pergilah dia dengan teman sekelasku itu kembali kesekolah untuk memberikan
laporan.
Cerpen yang tidak sempurna ini kutulis tanpa makna tersirat
ataupun tersurat. Cerpen ini hanyalah kisah hidupku dimana kondisi keluargaku
yang berantakan waktu itu, dan aksiku yang memukul seorang guru sebab tindakan
kejinya yang memompa api amarah dalam hatiku. Kisah ini bermula sebelum aku
memutuskan untuk berhenti bersekolah.
Aku tidak ingat kapan kejadian ini terjadi, tetapi setelah
dua tahun berlalu. Tertulislah sakit hatiku yang sudah terperangkap lama
terhadap kualitas pengajar yang tidak bermutu di sekolahku.
Hal yang sudah lama kupendam tertuang dalam tulisan.
Pontianak. 10 Januari 2025